Minggu, 29 Juni 2014

dalil larangan acara kematian



DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN
DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN
Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanantermasuk daripada meratap(HR. Ibnu Majah).
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggapberkumpul di keluarga mayit dan membuat makanansetelah penguburannyatermasuk daripada  meratap(HR. Ahmad).
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut “niyahah” adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat rahmat)” (HR. Bukhari). Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.
Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.
Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada ‘illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali. Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan “oncom” sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi’I atau ulama lain saat mengatakan “akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta’ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo’akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.
Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I’aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo’a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I’anatuth-Thalibiin.
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan” (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali” (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya(lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram(lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك ( إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)
Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
“Dan di antara bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.” (I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).  
Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan “pengharaman” agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
“… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram.”
Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis “bodoh”, “kufur”, dan “syirik” yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi “makruh”) sebagaimana termaktub di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك      وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)
(Sayid Bakri Syatha’ ad-Dimyathi, penulis I’aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah “apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta’ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta’ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta’ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?” (lihat I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).
Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta’ziyah itu dalam hal mana“merekamenunggu makanan” di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum “haram” kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.         
Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta’ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta’ziyah yang datang.
Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang “keberatan” dan “beban” keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikitpun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu. Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap “makruh” dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang “makruh” tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo’akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!
Jika alasan “berkumpulnya orang akan menambah kesedihan” membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah “kebaikan” bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?
Sungguh, hukum “makruh” yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi “menambah kesedihan atau beban kerepotan” meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo’akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.
Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.
********
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid’ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya, “larangan” yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa “larangan” tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri saat beliau minum sambil berdiri.

silahkan di baca dan di pelajari and di amalkan. matur suwun..................
nuun wal qalami wama yasthuuruun

Sabtu, 28 Juni 2014

panduan TM I



PANDUAN PELAKSANAAN
PELATIHAN KADER TARUNA MELATI I
IKATAN PELAJAR MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH 





 








 


 



PIMPINAN WILAYAH
IKATAN PELAJAR MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH
TAHUN 2013


PELATIHAN KADER

TARUNA MELATI I (PK TM I)


I.      KERANGKA UMUM

Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati I adalah  proses awal atau dasar dari pengkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah menuju jenjang yang lebih lanjut. PK TM I menekankan pada dua aspek proses, yaitu pertama, pemahaman dan pengamalan Islam secara riil dan kedua, pengenalan diri. Maksud pemahaman dan pengamalan Islam secara riil adalah belajar, memahi dan mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dimulai dari membaca al-Qur’an, ibadah mahdloh, sampai dengan membentuk kelompok pengajian bersama ataupun Gerakan Jama’ah Dakwah Jama’ah (GJDJ).  Adapun maksud dari pengenalan diri adalah mempelajari dan mengenali akan pribadi masing-masing melalui pengetahuan tentang hati suci sehingga muncul kesadaran yang tinggi terhadap potensi dan penghargaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
Pelatihan Kader Taruna Melati I dalam rangka mencapai tujuannya mengandung empat proses penting: Pertama, need assessment (didasarkan pada kebutuhan) kader di tempat masing-masing, kedua, sosialisasi dan rekruitment, ketiga, proses pelatihan, dan keempat, follow up(tindak lanjut). Masing-masing proses memiliki tahapan dan mekanismenya sendiri-sendiri yang disesuaikan berdasarkan target dan tujuan dar pelatihan dan jenjang pengkaderan IPM.

II.            TUJUAN UMUM PELATIHAN

Tujuan umum Pelatihan Kader Taruna Melati I adalah proses pembentukan karakter kader (character building), yaitu, siddiq, tabligh, amanah, fathonah, sebagai upaya penanaman nilai-nilai dasar pergerakan dan perjuangan Ikatan sebagaimana dalam tujuan IPM dan Muhammadiyah.

III.           TUJUAN KHUSUS PELATIHAN

Tujuan khusus Pelatihan Kader Taruna Melati I adalah : 1) Terjadinya proses transformasi kesadaran keimanan dan keislaman kader yang manifes dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari kesadaran akan pribadi, kelompok dan masyarakat. 2) Terjadinya proses kesadaran akan dasar-dasar ke-IPM-an dan Kemuhammadiyah-an sebagai gerakan Islam dan sosial sebagaimana dalam maksud dan tujuan organisasi.

IV.          KUALIFIKASI MATERI

1.    Agama
2.    Ke-Muhammadiyah-an
3.    Ke-IPM-an
4.    Psikologi Remaja
5.    Muatan Lokal

V.            KUALIFIKASI PESERTA

Pada dasarnya Pelatihan Kader Taruna Melati I ini ditujukan bagi semua anggota IPM. Akan tetapi, prosedur pelatihan menuntut idealnya 30 orang. Oleh karena itu, jika pendaftar melebihi dari 30 orang, maka harus diadakan kualifikasi peserta sebelum satu minggu – satu bulan acara pelatihan berlangsung. Kualifikasi peserta ditentukan oleh pengelola pelatihan (Tim Instruktur/fasilitator) setempat dengan mempertimbangkan pada:
1)    Meminimalisir kesenjangan pengetahuan antar peserta.
2)    Paket materi ditentukan berdasarkan hasil kualifikasi rata-rata peserta
3)    Jika terdapat peserta yang diskualifikasi, maka harus didaftar sebagai anggota dan dikelola dalam forum lain untuk mengikuti pelatihan kader dasar selanjutnya.
4)    Jika peserta kekurangan, maka peserta diskualifikasi diperbolehkan mengikuti forum dan jika memiliki perkembangan yang baik secara langsung bisa menjadi peserta


VI.          FASILITATOR PELATIHAN

Fasilitator atau Pendampingn pada pelatihan bagi warga belajar PK TM I adalah Tim Fasilitator dan Pendampingan yang telah mengikuti Pelatihan Fasilitator dan Pendampingan I.

VII.         PROSES, METODE DAN MEDIA PELATIHAN

1.    Proses Belajar
Proses belajar dalam pelatihan ini menggunakan azas pendidikan orang dewasa (androgogy) dan mengikuti pendekatan partisipatori. Latihan yang berdasarkan partisipatori andragogi ini menempatkan peserta sebagai orang yang telah memiliki bekal pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri dan kesadaran kelompoknya. Pengalaman dan potensi yang ada pada peserta adalah sumber yang perlu digali dalam proses pelatihan ini.
Pelatih dalam hal ini adalah sebagai fasilitator yang memiliki kemampuan untuk menggali gagasan, mengkodifikasi masalah, dan mensistematisasi masalah peserta berdasarkan metodologi pelatihan dan menciptakan kondisi bagaimana peserta menyelesaikan maslahnya sendiri. Di samping itu fasilitator harus mampu menciptakan suasana belajar di antara sesama peserta dan mampu memotivasi peserta agar berperan aktif dalam / selama proses belajar untuk meningkatkan pengalaman dan penghayatan terhadap suatu materi yang dibahas.
2.    Metode Belajar
Metode belajar yang digunakan dalam pelatihan ini diantaranya:
a.    Pemanasan
Metode ini berfungsi untuk membina suasana forum yang hangat dan gembira untuk menarik perhatian peserta terhadap topik yang dibahas.
b.    Ceramah dan tanya jawab
Suatu cara memberikan informasi kepada peserta yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu. Tanya jawab merupakan suatu cara untuk mengetahui apakah penjelasan sudah jelas.
c.    Diskusi kelompok:
Berfungsi sebagai arena saling bertukar informasi dan memecahkan masalah serta arena cipta dan daya analisa.
d.    Bermain peran (role play):
Berfungsi sebagai penumbuh spontanitas dan ekspresi serta mengembangkan daya analisa dan pengamatan peserta
e.    Simulasi :
Berfungsi sebagai ekspresi spontanitas peserta dan penumbuh daya analisa
f.     Studi kasus :
Berfungsi sebagai arena saling tukar informasi dan memecahkan masalah bersama
g.    Curah pendapat / sharing :
Berfungsi membangkitnya keberanian peserta untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya.
h.    Ice Breaker
Berfungsi untuk memecahkan kejenuhan pada saat paltihan berlangsung.
i.      Praktek Lapangan
Berfungsi untuk menguji dan mengolah kemampuan forum peserta dengan praktek di lapangan.


3.    Media Belajar
Media belajar yang dipergunakan untuk kelancaran pelatihan relawan pendampingan anak korban konflik dengan pendidikan partisipatori andragogi adalah:



a.    Bahan/materi yang berhubungan f. Lembar peraga, judul tujuan dengan pokok bahasan                  dan waktu
b.    Poster/gambar                              g. Lembar tugas , pengamatan
c.    Flip chart                                       h. Buku pegangan
d.    Alat permainan/game                   i. Alat tulis menulis
e.    Alat untuk simulasi                                               
 
 



           





VIII.        TEMPAT DAN LAMA PELATIHAN

Pelatihan Kader Taruna Melati I dilaksanakan di Daerah ranting, desa atau kecamatan. Pemilihan lokasi/tempat pelatihan mempertimbangkan fasilitas yang memungkinkan untuk proses pelatihan.
Pelatihan berlangsung selama 3 hari terdiri dari kegiatan:
1.    Pembukaan dan Penutupan kegiatan
2.    Proses pembelajaran

IX.          PENYELENGGARAN PELATIHAN

1.    Penanggung Jawab
Penyelenggara pelatihan adalah Pimpinan Cabang atau Derah Ikatan Pelajar Muhamamdiyah bidang Perkaderan di masing-masing tingkat pimpinan. Bidang Perkaderan membentuk panitia penyelenggara terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Pembantu dan dalam proses pengelolaan pelatihan bekerja sama dengan Tim Fasilitator dan Pendampingan Cabang atau Daerah IPM.

2.    Tugas
a.    Menyusun kerangka kerja dan jadwal pelatihan
b.    Menyusun kepanitiaan pelatihan
c.    Menetapkan fasilitator pelatihan
d.    Bersama fasilitator menyiapkan materi, media dan sarana yang akan digunakan dalam penyajian materi latihan
e.    Melaksanakan pemantauan dan evaluasi proses kegiatan pelatihan sejak awal sampai akhir
f.     Melakukan pendampingan pasca-training


VI.          KURIKULUM PELATIHAN



Kawasan Agama: Al-Islam Paket I
No
Materi
Metode
Ket.
01

Metode Belajar Membaca Al-Qur’an

Metode Iqra

02
Ibadah Praktis
Group Discussion
Thoharoh dan Tata-cara Sholat, dll.
03
Sholat Lail
Jama’ah

04
Sejarah Perjuangan Rasul
(Shirah An-Nabawiyyah)
Ceramah dan group reflection

05
Tauhid
Apresiasi empatetik

06
Muatan Lokal
Tentatif


Kawasan Agama: Al-Islam Paket II
01
Makna Hidup Islam
Ceramah dan group reflection
Makna Sholat Wajib dan Sholat lail, dll.
02
Akhlaq pribadi dan sosial
Ceramah dan Apresiasi empatetik




Kawasan Ke-IPM-an dan Kemuhammadiyahan: Paket I
No
Materi
Metode
Ket.
01

Sejarah Muhammadiyah

Audio Visual

02
Organisasi Muhammadiyah
Ceramah

03
Sejarah IPM
Audio Visual

04
Organisasi IPM
Ceramah

05
Muatan Lokal
Tentatif


Kawasan Ke-IPM-an dan Kemuhammadiyah-an: Paket II
01
MKCH Muhammadiyah
Ceramah dan Group discussion

02
Muhammadyah dan Masalah Lima
Ceramah dan simulasi

03
Paradigma Gerakan IPM
Ceramah dan Group dynamic

04
Kepribadian IPM
Ceramah dan Group dynamic

05
Muatan Lokal
Tentatif




Kawasan Psikologi : Paket I
No
Materi
Metode
Ket.
01

Pengenalan diri

Ceramah dan Role paly

02
Konsep diri dan Kepercayaan Diri
Penugasan


Kawasan Psikologi : Paket II
01

Manajemen Qolbu

Role paly dan out bond

02
Konsep Hati Suci:
IQ, EQ, SQ
Eksplorasi dan emosi empatetik



Kawasan Sosial-Masyarakat: Paket I
No
Materi
Metode
Ket.
01

Bakti Lingkungan

Based Community Visiting dan Emosi Empatetik

02
Studi Tokoh
Home Visiting

03
Muatan Lokal
Tentatif



VII.         MANUAL PELATIHAN

Manual pelatihan disusun berdasarkan alur logis perencanaan dan pengelolaan pelatihan. Adapun perencanaan dan pengelolaan Pelatihan Kader TM I dapat diikuti melalui Pelatihan Fasilitator dan Pendamping I. Adapun contoh dari susunan manual acara sebagaimana berikut:


WAKTU
MATERI
METODE
PEMATERI
Hari I
13.30– 15.30
Pendaftaran Ulang Peserta


15.30– 17.00
Pembuukaan


19.30– 20.30
Prerkenalan


20.30– 22.00
Orientasi dan Kontrak Belajar
Ice breaking

22.00– 23.30
Pengenalan Diri
Ceramah & role play

23.30– 04.00
Tidur Malam


Hari II
03.00-04.00
Shalat Tahajud


04.00– 05.30
Sholat dan Tadarrus


05.30– 06.30
Olah raga


06.30– 08.00
MCK dan sarapan


08.00– 10.00
Makna hidup Islam


10.00– 10.30
Ice break


10.30– 12.00
Organisasi Muhammadiyah
-

12.00– 13.30
ISHOMA


13.30– 15.00
Sejarah IPM


15.00– 16.00
ISHOMA


16.00- 17.30
Mengenal IPM lebih dekat


17.30– 19.30
IISHOMA


19.30- 21.00
Kepribadian IPM


21.00- 21.30
Ice break


21.30- 23.00
Pendalaman materi IPM
Diskusi kelompok

Hari III
03.00-04.00
Shalat tahajud


04.00– 05.30
Sholat dan Tadarrus


05.30– 06.30
Olah raga


06.30– 08.00
MCK


08.00– 10.00
Perencanaan follow up


10.00– 10.30
Persiapan Penutupan


10.30 - 12.00
Penutupan




X.            PENDAMPINGAN DAN TINDAK LANJUT PELATIHAN

Proses terpenting pasca pelatihan adalah proses tindak lanjut dan pendampingan. Oleh karena itu, pada Pelatihan Kader Taruna Melati I diperlukan langkah-langkah pendampngan dan tindak lanjut sebagai berikut:

1.    Pengukuhan Tim Pendampingan
Pimpinan Cabang atau Pimpinan Daerah menetapkan surat keputusan bagi pendamping pasca pelatihan berdasarkan usulan dari peserta.

2.    Pendayagunaan
Pendamping pasca pelatihan agar mengikuti prosedur dalam melaksanakan pendampingan sebagai berikut:
a.    Melakukan aktifitas pendampingan dengan berinteraksi baik langsung maupun tidak langsung kepada warga belajar secara kontinyu berdasarkan tujuan dan target PK TM I.
b.    Mendorong wrga belajar membentuk jaringan informasi berdasarkan agenda yang telah disepakati (leaflet, buletin, jaringan) berkaitan dengan pengembangan wacana dan aktivitas warga belajar untuk mencapai target PK TM I.
c.    Memfasilitasi dan mendampingi proses kursus-kursus pasca pelatihan seprti, Kursus Al-Islam, Kursus Ke-IPM-an, Kursus Ke-Muhammadiyahan, dll., yang mendukung bagi pancapaian target PK TM I.

3.    Aktivitas Pendampingan
Kegiatan pendampingan dapat dilakukan dengan cara:
a.    Temu warga belajar untuk memberikan perkembangan informasi masing-masing sebagaimana dalam rencana follow up.
b.    Kursus periodik dengan tema sebagaiman yang disepakati oleh kelompok warga belajar dalam rangka mengembangkan  wacana dan menambah kemampuan sebagaimana tujuan dan target PK TM I.
c.    Bakti Lingkungan yaitu mengagendakan kerja bakti: Kerja Bakti, Studi Hadap Masalah, pendidikan populer, dll., kepada masyarakat sebagai wahana seruan dan kesadaran moral kader dasar.

A.  EVALUASI PROSES

Keberhasilan suatu kegiatan pelatihan dapat dinilai dari proses, input dan out put. Untuk Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati I akan menggunakan evaluasi proses yaitu evaluasi pra pelatihan, pelatihan dan pasca pelatihan.  Evaluasi pra pelatihan melalui need assessment dan sosialisasi, waktu pelatihan melalui evaluasi in put (sumatif) yaitu evaluasi yang mengukur tingkat pemahaman peserta terhadap materi yang disajikan dengan menggunakan instrumen pre dan post kontrak belajar, dan pasca pelatihan melalui uji out put melalui follow up dan dilaporkan melalui yudisium. Adapun parameter  keberhasilannya akan diukur melalui :  

1.    Evaluasi Pra Pelatihan
Evaluasi ini diberikan setelah dilakukannya need assessment dan sosialisasi. Evaluasi di sini dimaksudkan untuk mendapatkan atau menilai kebutuhan materi dalam pelaksanaan pelatihan. Adapun evaluasi pra pelatihan antara lain meliputi:
a.    Menilai calon warga belajar bedasarkan analisis kebutuhan kader yang disesuaikan dengan kapasitas kemampuan kader dalam meyerap materi dan kebutuhan calon warga belajar.
b.    Uji rencana materi dan metodologi pelatihan melalui workshop fasilitator dengan Pimpinan setempat yang telah memiliki kualifikasi fasilitator.

2.    Evaluasi Materi Pelatihan
Keberhasilan Materi Pelatihan akan diukur melalui aspek sbb:

a.    Aspek Penilaian Aktifitas dan Pemahaman Waktu Pelatihan.
Fasilitator akan menilai aspek ini , dari segi apakah warga belajar akan dapat memahami materi sesuai dengan kontrak belajar,  lalu dapat mengimplementasikan dalam aktifitas-aktifitas  selama pelatihan (baik dari segi penugasan,games,Bermain peran,sharing,dll). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh  ilustrasi  (mengukur tingkat pengetahuan) sampai sejauhmana tujuan masing-masing materi pelatihan (modul) dapat tercapai. Bahan evaluasinya mencakup semua materi pelatihan yang diberikan.

b.    Aspek Instrumentasi (alat bantu) evaluasi.
Untuk dapat mengukur kesempurnaan penilaian maka, dibutuhkan instrumen sbb:
Ø  Pree Test (tes awal) & Post Test (tes akhir).
Ø  Catatan Harian Peserta
Ø  Lembar Evaluasi Materi


3.    Evaluasi Pasca Pelatihan
Keberhasilan suatu pelatihan dalam definisi proses justru sangat ditentukan oleh pasca pelatihan itu sendiri. Evaluasi pasca pelatihan ini meliputi:
a.    konsistensi antara agenda follow up yang meliputi: 1) Tugas pribad. 2) Tugas kelompok atau tugas warga belajar pasca pelatihan dengan praktek mereka semua pasca pelatihan.
b.    Inovasi, yaitu seberapa jauh warga belajar mampu memberikan pengembangan aktivitas yang mendukung target pelatihan di luar agenda follow up.

XI.    PENYELENGGARAAN PELATIHAN

Sebelum penyelenggaraan pelatihan dilaksanakan pastikan semuanya sudah siap mulai dari peserta, pembicara/fasilitator, tempat, bahan-bahan dan sarana penunjang pelatihan seperti plano, spidol, alat peraga dll., sampai dengan konsumsi.
Pada saat pelatihan berlangsung, penyelenggara memantau jalannya pelatihan, menyiapkan daftar hadir dan menyiapkan konsumsi pada saat istirahat. Selama pelaksanaan pelatihan sebaiknya dibuat foto dokumentasi untuk kejadian-kejadian yang mempunyai nilai dokumentasi yang baik, misalnya pada saat simulasi, diskusi acara pembukaan dan penutupan pelatihan.
Untuk kelancaran proses pelatihan diharapkan penyelenggara bekerja sama dengan Majlis Dikdasmen Muhammadiyah setempat.

XII.  PELAPORAN
Panitia penyelenggara harus membuat laporan yang mencakup kegiatan-kegiatan persiapam, pelaksanaan/proses sampai dengan pelatihan itu selesai dilaksanakan, paling lambat 2 minggu setelah selesai pelatihan
Laporan teresebut disampaikan kepada Pinpinan IPM dan Muhammadiyah setingkat, kepada pemberi dana/sponsor dengan ditembuskan kepada Pimpina di atasnya dan Dikdasmen.

VIII.        KUMPULAN MODUL PELATIHAN

Terlampir.

XIII.        PENUTUP
Buku kedua yang berisi tentang Pelatihan Kader Madya Taruna Melati II yang dilengkapi dengan modul ini merupakan pegangan bagi fasilitator dan pendamping tingklat II. Pada pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut berdasarkan analisis kebutuhan kader setempat.
Buku kedua ini wajib digunakan melalui metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu harus digunakan secara disiplin dan konsisten. Sifatnya yang lentur menuntut masing-masing level pimpinan dan fasilitator kreatif mengelola pelatihan dengan tetap berpegang pada target dan tujuan masing-masing level pelatihan kader.

Modul IB

-------------------------------------------

Sesi Ice Breaking dan Perkenalan
-------------------------------------------

Tujuan :
  1. Menumbuhkan suasana yang kondusif selama pelatihan, saling percaya, kooperatif, nyaman dan aman secara fisik dan psikologis
  2. Memetakan tujuan dan harapan peserta terhadap sesi pelatihan

Material :
Puzzle sahabat

Waktu :
            60 MENIT

Prosedur :
  1. Perkenalan trainer
  2. Trainer membagikan potongan puzzle
  3. Setiap peserta kemudian diminta untuk menyusun puzzle tersebut sesuai dengan potongan yang benar sehingga tersusun nama-nama sahabat.
  4. Trainer menggali pengalaman pertama saat mengikuti permainan
  5. Trainer menarik garis merah dari pengalaman peserta










Modul PD
---------------------------
Sesi Pengenalan Diri
---------------------------

Tujuan :
Peserta mampu mengenali dirinya sebagai bahan untuk membangun konsep diri pribadi

Material :
1.    Worksheet ‘pengenalan diri’
2.    pidol/pensil warna/crayon
3.    Kartu ‘Diri saya’

Waktu :
140 menit

Prosedur :
1.    Trainer meminta peserta untuk mengisi worksheet ‘Saya adalah….’ (10’)
2.    Setelah selesai, trainer menanyakan pengalaman peserta dalam mengisi worksheet apakah sangat mudah, mudah, sulit atau sangat sulit.(5’)
3.    Trainer memproses pengalaman tadi hingga tercapai kesimpulan perlunya pengenalan diri (10’)
4.    Cerkat pengenalan diri(20’)
5.    Trainer membagi peserta dalam kelompok-kelompok kecil (8-10 orang) untuk praktek pengenalan diri dengan cara pengungkapan diri dan menerima umpan balik (45’)
6.    Berdasarkan pengalaman dan masukan dari praktek pengenalan diri, trainer meminta peserta untuk menyusun ulang tentang dirinya dan menuliskan pada kartu yang sudah disediakan (5’)
7.    Trainer menutup sesi dengan penguatan tentang pentingnya pengenalan diri (5’)

---
Modul SMDS
-------------------------------------------
Sesi  Seni Memimpin Diri Sendiri
-------------------------------------------

Tujuan :
1.    Peserta mengetahui urgensi dan cara memimpin diri sendiri
2.    Peserta membuat agenda pengembangan pribadi

Material :
1.    Puzzle hadits
2.    Lego

Waktu :
80 menit

Prosedur :
1.    Peserta dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok kecil
2.    Setiap kelompok diminta untuk memilih salah seorang anggota kelompok yang akan bertugas sebagai pembangun menara lego. Sedangkan anggota kelompok yang lain bertugas sebagai penggoda dan motivator. (5’)
3.    Waktu permainan  15 menit untuk membangun menara setinggi dan sekokoh mungkin
4.    Trainer menggali pengalaman peserta terutama yang bertugas membangun menara. Apa yang dirasakan? Kenapa berhasil/gagal? Dst! (titik tekan penggalian pada upaya pribadi untuk menjadi pemenang permainan) (20’)
5.    Trainer mengajak peserta untuk sejenak melihat pada visi misi hidupnya Trainer menekankan bahwa tujuan  tidak akan berarti apa-apa bila tidak dilaksanakan. Terlaksana atau tidaknya sebuah tujuan sangat tergantung bagaimana seorang individu mengelola dirinya untuk melaksanakan tujuan tsb. (5’)
6.    Trainer mengajak peserta untuk menarik benang merah dengan pengalaman dalam bermain (10’)
7.    Cerkat tentang   menjadi pemimpin untuk diri sendiri (20’)
8.    Peserta dalam setiap kelompok diminta untuk menyusun puzzle berupa penggalan hadits ‘setiap orang adalah pemimpin untuk drinya sendiri sebagai sebuah  peneguhan  (5’)

---


























Modul VMH
--------------------------
Sesi Visi Misi Hidup
--------------------------

Tujuan :
1.    Peserta mengetahui Visi Misinya hidup di dunia
2.    Peserta mampu memegangnya sebagai salah satu panduan untuk menentukan langkahnya

Material :
Lembar refleksi diri

Waktu :
 60 menit

Prosedur :
1.    Pada Peserta dibagikan lembaran refleksi diri dan meminta untuk diisi
2.    Beberapa peserta diminta untuk membacakan pekerjaannya
3.    Trainer menerangkan pentingnya visi dan misi dalam kehidupan seseorang
4.    Peserta diminta untuk memperbaiki visi dan misinya
5.    Peserta diminta mengisi proklamasi diri

---








Modul AS
---------------
Sesi Asertif
---------------

Tujuan :
1.    Peserta mengetahui pentingnya bersikap asertif
2.    Peserta mampu mengaplikasikan sikap asertif
3.    Peserta membuat agenda pengembangan pribadi

Material :

Waktu :
menit

Prosedur :
1.    Ceramah tentang asertivitas
2.    Role play sebuah kasus
3.    Diskusi hasil role play

---













Modul KD
----------------------
Sesi Konsep Diri
----------------------

Tujuan :
1.    Peserta mengetahui konsep diri
2.    Peserta mampu membangun konsep diri yang positif

Material :

Waktu :

Prosedur :
1.    Peserta diminta untuk menuliskan diri idealnya
2.    Peserta diminta menuliskan diri nyatanya
3.    Peserta diajak untuk melihat hasil pekerjaannya, apakah senjang atau sudah sesuai atau ada kesenjangan sedikit
4.    Ceramah tentang konsep diri dan bagaimana membangunnya